Sakitnya Pak Harto dan Budaya Mikul Duwur |
Sabtu, 12-01-2008 | 00:25:45 | |
Kontroversi itu diperkirakan berlarut hingga Pak Harto meninggal nanti. Pak Harto masih sakit dan kritis. Walau kadang membaik, kesehatannya fluktuatif. Pemerintah mengerahkan tim dokter kepresidenan terbaik yang ahli antardisipliner, tetapi perkembangannya lambat. Usia Pak Harto memang sangat sepuh. Kebanyakan teman seangkatannya bahkan yang muda lebih dahulu meninggal. Kalau pun berangsur sehat, sulit sembuh dan prima seperti semula. Banyak orang berdoa bagi kesembuhannya. Tetapi tetap ada kekhawatiran, mengingat usia dan kompleksitas penyakitnya. Di tengah masyarakat, polemik dan kontroversi terus berlanjut. Banyak tokoh berbicara perlunya pemaafan, seperti Ketua PB-NU KH Hasyim Muzadi dan Ketua DPP PAN Sutrisno Bachir. Bahkan orang yang merasa dirugikan rezim Orde Baru seperti AM Fatwa, juga memaafkan. Tetapi ada juga yang mengusulkan proses hukum Pak Harto dilanjutkan, terutama kasus perdata yang melibatkan kroninya. Seperti disuarakan Ketua MPR Hidayat Norwahid dan Ketua Fraksi PPP DPR-RI Lukman Hakim Syaefuddin. Proses hukum diperlukan, karena Indonesia negara hukum yang menganut persamaan hukum atas semua orang. Di pihak lain, pengacara keluarga Cendana M Assegaf dan Juan Felix Tampubolon menolak memohon pengampunan. Alasannya, pengampunan ada jika ada perkara dan putusannya sedangkan perkara Pak Harto dianggap sudah selesai. Sementara itu, PN Jakarta Selatan tetap menggelar perkara perdata terkait Yayasan Supersemar. Aksi dari Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS), rata-rata meringankan Pak Harto. Dengan alasan, beasiswa itu menolong banyak mahasiswa hingga sukses menjadi sarjana. Ada juga yang memberatkan, bahwa dana Yayasan Supersemar tidak semuanya dialokasikan untuk beasiswa tetapi disimpangkan ke pihak lain. Memahami Mikul Duwur Kontroversi itu diperkirakan berlarut hingga Pak Harto meninggal nanti. Sambil mencari formula solusi terbaik, tidak ada salahnya digunakan nilai budaya adiluhung (luhur) mikul duwur mendhem jero (melihat kebaikan dan menyimpan keburukan). Dulu saat Bung Karno (BK) jatuh pascatragedi G 30 S PKI 1965, dia juga mengalami hujan hujatan. Banyak desakan agar BK diadili. Tetapi banyak rakyat mengagumi dan menghormatinya, karena jasa besar Pahlawan Proklamator dan Presiden pertama RI itu. Pak Harto saat itu memilih dan mengajak elit dan rakyat mikul duwur mendhem jero kepada BK. Dalam banyak kesempatan dan buku memori, pendirian itu diulang-ulang supaya rakyat tidak hanya melihat sisi gelap BK tetapi juga sinar terangnya. Beberapa hak BK memang dibatasi tetapi tidak diadili, hanya 'diistirahatkan' hingga meninggal pada 1970. Sama tapi tidak serupa, hal itu terulang atas diri Pak Harto setelah lengser pada Mei 1998. Budaya mikul dhuwur mendhem jero sejalan ajaran agama. Rasulullah SAW berpesan: uzkuruu mahaasina mautaakum wa kulfu an masaawihim (sebut dan ingatlah kebaikan orang yang mati di antara kamu, dan jangan kau sebut keburukannya) (HR Abi Daud, Turmudzi, Hakim dan Baihaqi). Orang mati di sini mencakup yang sudah meninggal, sakit keras, akan meninggal, tua atau berada di ujung usia. Setiap manusia punya sisi baik dan buruk. Ada yang mencintai dan membenci. Manusia terbaik seperti Rasulullah pun sering dibenci dan dihujat orang. Tiga khalifah (Umar, Utsman dan Ali) tewas terbunuh, padahal mereka memerintah sangat lurus, adil dan jujur. Sibuk mengorek kejelekan orang tidak akan ada habisnya, karena orang baik sekalipun punya musuh. Memaafkan sikap utama, baik terhadap perkara pidana atau perdata. Allah SWT memuji orang yang mampu memberi maaf. "Dan pemaafan itu lebih mendekatkan kamu kepada takwa." (QS al-Baqarah: 237). Pemaafan terasa rasional karena kesalahan yang terjadi di era Orba bersifat kolektif, banyak pihak terlibat. Tidak bisa ditimpakan kepada satu orang saja. Karena penyelesaiannya sangat kompleks, pemaafan alternatif paling praktis dan logis. Pemaafan tidak berarti mengabaikan hukum, tetapi semata agar persoalannya tidak berlarut tanpa ujung pangkal. Problem Hukum Mencari kepastian hukum agar kasus Pak Harto tidak status quo dan membingungkan, pendekatan hukum bisa dilakukan terhadap perkara perdata yang melibatkan keluarga dan kroninya. Namun cara itu melelahkan, memakan waktu lama dan belum tentu mencapai hasil. Gagalnya proses hukum terdahulu saat Pak Harto masih sehat saja menunjukkan, sisi hukum masalah itu tidak sederhana. Data dan alat bukti dalam dan luar negeri tidak riil, bercampur opini, praduga dan analisis belaka. Persoalan yang melilit Pak Harto beraroma politik, hukum dan ekonomi. Jaringan kolektivitas pelaku masa lalu sangat luas dan sudah menggurita. Banyak elit dan pejabat sekarang baik yang tetap setia, berkhianat, mengkritisi, menjaga jarak dan netral, masih anak buah dan binaan Pak Harto. Karena itu, pendekatan formal hukum sulit dilakukan. Pemerintah perlu melakukan pendekatan informal kepada keluarga dan pengelola yayasan. Dari situ bisa diperoleh hasil yang win-win solution. Sebagian harta kekayaan Cendana dan kroninya diminta sebagai milik negara, selebihnya milik mereka. Meski tidak ideal, itu lebih realistik. Kita hendaknya menghargai masa lalu sebagai sejarah dan pelajaran, bukan sumber kontroversi, perdebatan dan perpecahan. Tantangan Bangsa Indonesia ke depan, jauh lebih kompleks dan berbahaya. Diperlukan sikap arif bijaksana, kebersamaan dan kesatuan agar energi kita optimal mengatasi masalah bangsa. Ahmad Barjie B |
http://groups.yahoo.com/group/mediacare/
Blog:
http://mediacare.blogspot.com
http://www.mediacare.biz
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar