statistic: [mediacare] Munir, Yudhoyono dan Intelijen

Minggu, 13 Januari 2008

[mediacare] Munir, Yudhoyono dan Intelijen

http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/12669/309/

Munir, Yudhoyono dan Intelijen

Jumat, 11-01-2008 | 00:25:55

DUA tahun sebelum tewas, Munir disertai rekan-rekannya di Kontras dan Imparsial, pernah datang ke gedung DPR. Di depan anggota Komisi I, Munir menyodorkan naskah rancangan undang-undang intelijen.

Rancangan konstitusi itu memberi wewenang penuh bagi Badan Intelijen Negara (BIN) untuk melakukan penangkapan dan menahan orang tanpa tuduhan, serta bebas menginterogasi tanpa harus ada kuasa hukum dan penahanan bisa dilakukan selama 90 hari. Selama itu pula, BIN tidak perlu melaporkan lokasi penahanan.

Anggota Komisi I tersentak. Maklum, mereka belum mengetahui adanya RUU yang jelas-jelas bertentangan dengan penegakan hak asasi manusia itu.

Tujuh September 2004, Munir tewas secara tidak wajar dalam penerbangan ke Amsterdam, Belanda. Diduga, Munir tewas karena diracun. Hingga kini, pelaku dan motif pembunuhan itu masih misterius.

Dulu, publik sempat mendapat angin segar tatkala Pollycarpus Budihari Priyanto divonis 14 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta berpendapat sama, Pollycarpus adalah pembunuh aktivis HAM itu. Vonis serupa pun diganjarkan untuk mantan pilot itu.

Namun, mendung kembali menggelayut saat Mahkamah Agung membbebaskan Polycarpus dari dakwaan sebagai pembunuh. Dia hanya diganjar dua tahun karena memalsukan surat tugas. Kasus pembunuhan Munir pun kembali gelap.

Kini, kasus itu kembali bergulir ke persidangan dengan terdakwa lain, mantan Dirut Garuda, Indra Setiawan dan Staf Administrasi Garuda, Rohainil Ainil. Repotnya, keterangan keduanya membuka wacana dugaan keterlibatan dua petinggi BIN, M As'ad dan Muchdi PR serta salah seorang agen BIN, Budi Santoso alias Wisnu Wardhana.

Lembaga BIN pun disorot publik nasional maupun internasional. Dugaan konspirasi di balik tewasnya Munir, menyeruak. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun 'mengizinkan' orang-orang itu diperiksa.

Namun, apa yang terjadi? Mereka tak juga mampu dihadirkan jaksa ke persidangan. Mereka bak tak tersentuh hukum. Padahal, mereka itu diduga sebagai saksi kunci yang bisa menerangi kegelapan kasus yang sudah bergulir selama tiga tahun.

Ada 'hukum' dalam dunia intelijen. Jangankan orang lain, keluarga pun haram mengetahui tugas spionase yang dijalankannya. Seorang intel harus bisa menjaga kerahasiaan dengan taruhan jiwanya.

Kita menghargai 'hukum' itu. Namun, apakah selamanya harus seperti itu? Kasus Munir sudah menjadi perhatian dunia internasional. Di sinilah goodwill pemerintah terutama lembaga penegakan hukum termasuk BIN sangat diharapkan, agar citra bangsa ini tidak kian terpuruk di mata dunia internasional.

Meski berisiko secara politik, kemauan Yudhoyono menuntaskan Kasus Munir adalah jaminan tegaknya hukum dan sehatnya demokrasi di negeri ber-Pancasila ini. Sebaliknya, hukum akan terus terkapar dan demokrasi kembali mati suri jika presiden yang dipilih langsung oleh rakyat ini tak berani melakukan 'intervensi', selalu mendesak aparaturnya agar serius mengungkap misteri ini.

Terus terang, jika ditanya seberapa optimisme terhadap pengungkapan kasus tersebut, kita mengakui tidak seberapa besar. Tengoklah sejarah. Kasus pembunuhan terhadap wartawan Bernas, Jogjakarta, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), pada sebelas tahun lalu, belum terungkap meski perjuangan menguaknya tak pernah padam. Juga kasus-kasus lain.

Yudhoyono adalah presiden berlatar belakang militer. Tentunya dia memiliki pengalaman menghadapi operasi intelijen. Karena itu, jika memang Munir tewas karena operasi intelijen, bukan halangan bagi Yudhoyono untuk membongkarnya. Ya, kasus itu sangat tergantung goodwill dia sebagai pemimpin bangsa. Bukan sekadar janji dan janji.
Tajuk: 2008/01/11